KAJIAN NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL LASKAR PELANGI
KARYA ANDREA HIRATA
Dosen Pengampu: Drs.
Gatot Sarmidi M.Pd,
Oleh
:
ANDHIKA NUGROHO
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG
2012
Abstrak: Kajian novel ini secara umum bertujuan untuk
mendiskripsikan nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam novel Laskar
Pelangi yang mana secara khusus agar nantinya kajiab ini mampu memberikan
manfaat yaitu dengan tujuan untuk
mendeskripsikan nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi
karya Andra Hirata, serta bagaimana cara pengarang menyampaikan
nilai-nilai edukatif dalam novel Laskar Pelangi ini.
Pengantar
Nilai-nilai edukatif merupakan nilai-nilai
pendidikan yang di dalamnya mencakup sikap individu dalam kehidupan
pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan yang berhubungan dengan Tuhan.
Berbagai penanaman nilai edukatif melalui pendekatan moral dilakukan
dengan berbagai cara, baik formal maupun nonformal.
Karya sastra pun dapat dijadikan sebagai
sarana penanaman nilai edukatif yang dapat dimanfaatkan oleh pembaca,
karena karya sastra merupakan refleksi permasalahan kehidupan yang
diungkapkan kembali oleh pengarang melalui tokoh-tokoh cerita. Dengan
demikian penggalian nilai-nilai edukatif karya sastra perlu
dilakukan mengingat penyampaian nilai edukatif dalam sastra tidak selalu
secara langsung. Fenomena tersebut menarik perhatian kita untuk melakukan
penelitian.
Kajian novel ini secara umum bertujuan
untuk mendiskripsikan nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam novel
Laskar Pelangi yang mana secara khusus agar nantinya kajiab ini mampu
memberikan manfaat yaitu dengan tujuan
untuk mendeskripsikan nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam novel
Laskar Pelangi karya Andra Hirata, serta bagaimana cara pengarang
menyampaikan nilai-nilai edukatif dalam novel Laskar Pelangi ini.
Sebelum menjelaskan adanya nilai-nilai
edukatif dalam novel ini, maka terlebih dahulu akan dijabarkan sekelumit
tentang isi dari novel ini, Dikisahkan, anak-anak Laskar Pelangi hidup di
kondisi yang dapat dibilang kurang layak. Tetapi dari situ, pada setiap anak
memiliki kelebihan masing-masing. Lintang misalnya, teman sebangku si Ikal, ia
berasal dari keluarga nelayan yang miskin, terpencil. Dari rumahnya sampai sekolah,
ia harus mengayuh sepeda orang dewasa sejauh 80 Km, belum lagi apabila musim
hujan atau hadangan buaya dalam perjalanan berangkat ke sekolah. Dan hebatnya
lagi, ia tidak pernah tidak masuk sekolah. Walaupun begitu, Lintang ini
memiliki otak yang luar biasa genius asli didikan alam. Pernah suatu ketika di
lomba cerdas cermat ia mendebat seorang guru fisika ternama tentang salah satu
soal dari lomba tersebut. Dan akhirnya ia memenangkan perdebatan itu, sang guru
kalah telak. Lalu ada lagi Mahar. Bakat seninya luar biasa. Dialah yang
berhasil mengantarkan teman-teman dan nama sekolahnya menjurarai lomba karnaval
17 Agustus, mematahkan rekor sekolah besar yang sudah 20 tahun berturut-turut
menang. Tapi sayangnya ia keblinger akan hal-hal yang berbau mistik,
paranormal, klenik, dan segala hal yang berhubungan tentangnya. Apalagi setelah
datangnya anggota baru Laskar Pelangi, seorang gadis manis bernama Flo, yang
sama seperti Mahar, menyukai hal-hal klenik. Maka lengkaplah jadinya.
Ikal sendiri tidak terlalu menonjol, tapi
ia memiliki prestasi di bidang olahraga bulutangkis. Banyak prestasi yang telah
ia miliki di bidang tersebut. Selain itu ia juga pandai menulis puisi. Ikal
menemukan cinta pertamanya di sebuah toko kelontong. Aku beberapa kali tertawa
membaca cerita di bagian ini, seru. Sampai pada akhirnya sang cinta pertama itu
pergi meniggalkannya. Tetapi dari perpisahan tersebut, Ikal menemukan seperti
suatu semangat baru dalam menjalani hidup, menemukan hal baru sebagai
“pelampiasan” yang positif dari keterpurukannya karena ditinggal sang cinta
pertamanya. Dan hal itulah yang membuatnya terus bersemangat.
Endingnya juga bagus. Sebagian besar
anggota Laskar Pelangi setelah dewasa mereka sudah “jadi orang”. Ada juga yang
menikah dengan teman sesama anggota Laskar Pelangi. Lucu, tapi sangat
menggugah. Disinilah akhirnya, dengan semangat dan usaha yang kuat maka segala
apa yang kita ingin capai Insya Allah dapat terwujud.
Kajian Nilai Edukatif Novel ’Laskar Pelangi’
Novel ’Laskar Pelangi’ karya novelis Andrea Hirata ini memang
merupakan sebuah karya yang mencengangkan, sebagai karya pertama yang ditulis
seseorang yang tidak berasal dari lingkungan sastra, dan
tidak tunduk pada selera pasar. Kelebihan novel ’Laskar
Pelangi’adalah pada aspek cerita yang diangkat dari
kehidupan nyata sedangkan novel yang sekarang sering muncul biasanya hanyalah
sebuah novel yang menceritakan tentang percintaan dan ekspose seksualitas
tetapi tidak pada novel ’Laskar Pelangi’). Novel ini mengisahkan sepuluh anak kampung
di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, mereka bersekolah di sebuah SD
Muhammadiyah di Belitong yang bangunannya hampir rubuh dan di malam hari
menjadi kandang ternak. Sekolah itu hampir ditutup karena muridnya tidak sampai
sepuluh sebagai persyaratan minimal.
Banyak hal yang bisa dipetik dari membaca
novel tersebut. Andrea juga membawa kita ke dalam emosi ketika membacanya
(beneran!), ya asal kita membacanya niat. Aku sempat beberapa kali tertawa,
senyum-senyum, dan sempat juga merinding. Aku banyak setuju dengan hal-hal yang
dituliskan Andrea. Terutama ketika ia menceritakan tentang Perguruan
Muhammadiyah yang mengarahkan generasinya ke arah yang Islami, diridhoi Allah
SWT. Terutama dalam hal pola pikir, akhlak, budi pekerti. Dan itu aku rasakan
sejak bersekolah di SD Muhammadiyah.
Keberuntungan atau lebih tepatnya takdir,
masih berpihak pada sepuluh anak kampung Pulau Belitong tersebut, sebelum
sekolah tersebut ditutup, ada salah satu siswa yang
bernama Harun mendaftarkan diri. Akhirnya, sekolah ini tetap eksis dan bisa
terus melanjutkan pendidikannya untuk anak-anak Belitong.
Kelebihan yang dimiliki pengarang (Andrea
Hirata) di dalam karya-karyanya yaitu dari segi stilistik yang menarik,
mengungkapkan setiap kejadian secara sistematis, terarah
dan kronologis, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji masalah-masalah yang
terdapat di dalam novel tersebut.
Melihat dari berbagai hal yang telah
dijabarkan di atas mka lahirlah beberapa nilai-nilai edukatif yang timbul pada
saat terjadi kesenjangan perekonomian dan kemiskinan membawa tokoh-tokoh dalam
novel ini, anak-anak sekolah yang serba kekurangan tetapi memiliki sumber
inspirasi yang kuat yang terjelma pada guru-gurunya. Inspirasi ini menjadi
motivasi membentuk pribadi yang mandiri dan menjadi sarana
mencapai cita-citanya. Perekonomian dan kemiskinan yang menjadi inti novel
tersebut. Kesenjangan ini mendorong semangat kaum muda yang mencintai tanah
kelahirannya, Belitong untuk belajar dengan penuh ketekunan. Adanya semangat
para tokoh yang ada dalam novel ini terlihat pada kutipan novel berikut:
Aku juga merasa cemas. Aku cemas karena melihat Bu Mus yang resah dan
karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur tubuhku. Meskipun beliau
begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari leherku mengalirkan
degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku maklum bahwa tak
mudah bagi seorang pria beruisa empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang
yang beranak banyak dan bergaji kecil, utnuk menyerahkan anak laki-lakinya ke
sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang
parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu
ekonomi keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama
belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami.
Pada novel ini terdapat seorang tokoh yang
bernama ’Lintang’, tokoh ini merupakan tokoh yang sering muncul dalam tiap
adegan novel ini serta dia juga memberikan contoh betapa tangguhnya dia dalam
menghadapi hari-harinya meskipun dia harus mengayuh sepeda dengan jarak yang
sangat jauh hanya untuk dapat bersekolah dan mencari ilmu, besarnya semangat
Lintang ini terdapat dalam kutipan berikut,
Tidak seperti kebanyakan nelayan, nada bicaranya pelan. Lalu beliau
bercerita pada Bu Mus bahwa kemarin sore kawanan burung pelintang pulau
mengunjungi pesisir. Burung-burung keramat itu hinggap sebentar di puncak pohon
ketapang demi menebar pertanda bahwa laut akan diaduk badai. Cuaca cenderung
semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi
ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia tak punya laut, tapi karena
ia tak punya perahu.
Agaknya selama turun temurun keluarga laki-laki cemara angin itu tak mampu
terangkat dari endemik kemiskinan komunitas Melayu yang menjadi nelayan. Tahun
ini beliau menginginkan perubahan dan ia memutuskan anak laki-laki tertuanya,
Lintang, tak akan menjadi seperti dirinya. Lintang akan duduk di samping pria
kecil berambut ikal yaitu aku, dan ia akan sekolah di sini lalu pulang pergi setiap
hari naik sepeda. Jika panggilan nasibnya memang harus menjadi nelayan maka
biarkan jalan kerikil batu merah empat puluh kilometer mematahkan semangatnya.
Bau hangus yang kucium tadi ternyata adalah bau sandal cunghai, yakni sandal
yang dibuat dari ban mobil, yang aus karena Lintang terlalu jauh mengayuh
sepeda.
Nilai
edukatif lain dapat terlihat jelas pada saat terjadi kemiskinan dan
perekonomian yang mendera tokoh dalam novel ini, pada satu sisi terdapat sebuah
sekolah khusus yang dibentengi dengan tembok tinggi bagi karyawan PN Timah yang
menyediakan sarana-prasarana pendidikan memadai, fasilitas yang lengkap, dan
kehidupan yang layak, sedangkan SD Muhammadiyah tidak
mempunyai semua fasilitas yang dimiliki oleh sekolah PN Timah, semangat
anak-anak kampung miskin tersebut untuk berjuang dengan gigihnya agar dapat
belajar tidak pernah padam walaupun dalam keadaan yang serba terbatas. Mereka
bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang
berlubang sehingga terpaksa ditambal dengan poster Rhoma Irama. Gambaran
tentang kondisi sekolah ini terdapat pada kutipan novel berikut,
Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu
dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang
jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh
berantakan.
Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore
untuk SMP Muhammadiyah. Maka kami, sepuluh siswa baru ini bercokol selama
sembilan tahun di sekolah yang sama dan kelas-kelas yang sama, bahkan susunan
kawan sebangku pun tak berubah selama sembilan tahun SD dan SMP itu.
Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah
memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak punya kotak P3K.
Jika kami sakit, sakit apa pun: diare, bengkak, batuk, flu, atau gatal-gatal
maka guru kami akan memberikan sebuah pil berwarna putih, berukuran besar bulat
seperti kancing jas hujan, yang rasanya sangat pahit. Jika diminum kita bisa
merasa kenyang. Pada pil itu ada
tulisan besar APC. Itulah pil APC yang legendaris di kalangan rakyat pinggiran
Belitong. Obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala rupa penyakit.
Tokoh Bu
Muslimah yang menjadi guru pada film yang penuh inspirasi di Laskar Pelangi ini
ternyata mampu menggelitik semangat Hajar Wati untuk mengajar di daerah
pelosok. Wisudawan terbaik Universitas Wisnuwardhana (Unidha) kelahiran 6
Oktober 1981 ini ingin terus mengabdikan dirinya pada dunia pendidikan, namun
ada sesuatu yang membuatnya khawatir dalam duni pendidikan saat ini, yakni
perkembangan pendidikan moral yang kian pudar. sesungguhnya pendidikan akan
hilang maknanya jika moral tak lagi mengikuti. Apalagi kita bangsa yang
menjunjung tinggi budaya dengan beragam nilai moral bermasyarakat. Semangat
menerima pendidikan itu yang sekarang pudar. Tidak banyak murid bersekolah
karena ingin menuntut ilmu. Mereka bersekolah karena tuntutan jaman,
penggambaran karakter Bu Mus terlihat jelas pada kutipan berikut:
N.A. Muslimah Hafsari Hamid binti K.A. Abdul Hamid, atau kami memanggilnya
Bu Mus, hanya memiliki selembar ijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri), namun beliau
bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya—K.A. Abdul Hamid, pelopor sekolah
Muhammadiyah di Belitong—untuk terus mengobarkan pendidikan Islam. Tekad itu
memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru—lagi
pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? Maka selama enam tahun
di SD Muhammadiyah, beliau sendiri yang mengajar semua mata pelajaran—mulai
dari Menulis Indah, Bahasa Indonesia, Kewarganegaraan, Ilmu Bumi, sampai
Matematika, Geografi, Prakarya, dan Praktik Olahraga. Setelah seharian
mengajar, beliau melanjutkan bekerja menerima jahitan sampai jauh malam untuk
mencari nafkah, menopang hidup dirinya dan adik-adinya.
BU MUS adalah seroang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan
jauh ke depan. Beliau menyusun sendiri silabus pelajaran Budi Pekerti dan
mengajarkan kepada kami sejak dini pandangan-pandangan dasar moral,
demokrasi, hukum, keadilan, dan hak-hak asasi—jauh hari sebelum orang-orang
sekarang meributkan soal materialisme versus pembangunan spiritual dalam
pendidikan. Dasar-dasar moral itu menuntun kami membuat konstruksi imajiner
nilai-nilai integritas pribadi dalam konteks Islam. Kami diajarkan menggali
nilai luhur di dalam diri sendiri agar berperilaku baik karena kesadaran
pribadi. Materi pelajaran Budi Pekerti yang hanya diajarkan di sekolah
Muhammadiyah sama sekali tidak seperti kode perilaku formal yang ada dalam
konteks legalitas institusional seperti sapta prasetya atau pedoman-pedoman
pengalaman lainnya.
“Shalatlah
tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati
kami.
Nilai-nilai edukatif juga terdapat pada
diri sosok Pak Harfan, beliau adalah seorang yang mempunyai kepribadian luhur
dan terpuji, sehingga mempunyai kewibawaan yang sangat tinggi di mata anak-anak
didiknya dan juga sangat dihormati oleh Bu Mus, perhatikan kutipan novel di
bawah ini,
Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya
tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam
dan beruban. Hemat kata, wajahnya mirip Tom Hanks, tapi hanya
Tom Hanks di dalam film di mana ia terdampar di sebuah pulau sepi, tujuh belas
bulan tidak pernah bertemu manusia dan mulai berbicara dengan sebuah bola voli.
Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awtuan, beliau tidak akan
repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad
Zakariyya Al Kandhallawi Rah,R.A. yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot.
Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya.
K.A. pada nama depan Pak Harfan berarti Ki Agus. Gelar K.A. mengalir dalam garis
laki-laki silsilah Kerajaan Belitong. Selama puluhan tahun keluarga besar yang
amat bersahaja ini berdiri pada garda depan pendidikan di
sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris
tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga
dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya.
Kalau pada penjelasan sebelumnya hanyalah
gambaran tentang nilai edukatif yang berkaitan dengan unsur individu, maka
dalam novel ini juga terdapat tentang penggambaran nilai edukatif yang
seharusnya dimiliki oleh seorang guru, sikap seorang guru yang penyayang, lemah
lembut dan mempunyai kepribadian yang agung ditampakkan pada diri Pak Harfan
dalam membimbing aanak didiknya, sikap-sikap
Pak Harfan ini termaktub dalam potongan novel berikut:
Ketika mengajukan pertanyaan beliau berlari-lari kecil mendekati kami,
menatap kami penuh arti dengan pandangan matanya yang teduh seolah kami adalah
anak-anak Melayu yang paling berharga. Lalu membisikkan sesuatu di
telinga kami, menyitir dengan lancar ayat-ayat suci, menantang pengetahuan
kami, berpantun, membelai hati kami dengan wawasan ilmu, lalu diam, diam
berpikir seperti kekasih merindu, indah sekali.
Beliau menorehkan benang merah kebenaran hidup yang sederhana melalui
katakatanya yang ringan namun bertenaga seumpama titik-titik air hujan. Beliau mengobarkan semangat
kami utnuk belajar dan membuat kami tercengang dengan petuahnya tentang
keberanian pantang menyerah melawan kesulitan apa pun. Pak Harfan memberi kami
pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang
keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup
bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan
berkorban untuk sesama. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam
menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku
hingga dewasa, yaitu bahwa hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan
untuk menerima sebanyak-banyaknya.
Seperti itulah gambaran tentang nilai-nilai edukatif yang terdapat dalam
novel ini dengan beberapa nilai plus yang ditampaakan setiap tokoh dalam novel
ini, hampi rsikap dan perilaku dari novel ini dapat memberikan nilai edukatif
terhadap kita semua, mulai dari pelajaran nilai edukatif terhadap para pelajar
yang selalu dituntut untuk mempunyai semangat yang tinggi, untuk para pengajar
yang diharuskan memiliki karakter mengajar seperti yang ditampaakan Pak Harfan,
sampai pada nilai edukatif terhadap jajaran pemerintahan yang dituntut untuk
lebih memperhatikan sistem pendidikan yang ada di negara kita.
Kehadiran novel ini berhasil lebih karena momentum yang tepat, yaitu saat
bangsa ini perlu bahan bacaan pembangkit semangat. Nilai moral yang begitu
sarat dalam novel ini seolah menjadi teladan di tengah kemiskinan panutan
masyarakat kita. Ditambah lagi penerbit Bentang yang merupakan grup Mizan mampu
mendapatkan pujian dari begitu banyak tokoh terkenal. Tokoh mana yang, jujur
saja, saya tidak yakin sempat membaca kata-perkata dari buku ini. Toh, buku ini
bagaimanapun tetap fenomenal. Penerbitannya mengejutkan banyak kalangan karena
berhasil memberikan penggambaran lugas mengenai kondisi sesungguhnya dunia
pendidikan kita. Kondisi yang sempat membuat berang Wapres Jusuf Kalla saat
seorang guru menghadiahinya puisi bernada protes di tahun 2007 lalu. Selain
itu, buku ini telah memberi kesejahteraan bagi banyak orang. Terutama tentu
saja bagi penerbit dan pengarangnya. Juga bagi para tokoh yang menjadi
inspirasi penulisannya. Ibu Muslimah misalnya, mendapatkan hadiah mobil dari
ibu Ani Yudhoyono karena beliau mengetahuinya dari Kick Andy. Sebuah pertanda bagus bagi dunia perbukuan
di Indonesia tentunya.
Kesimpulan
Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam
novel Laskar Pelangi karya Andra Hirata terdapat nilai-nilai edukatif yang
pada intinya mengajarkan agar manusia senantiasa menanamkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai edukatif dalam kehidupan pribadi, sosial,
dan hubungannya dengan Tuhan.
Berdasarkan hasil penjabaran di atas, ada
beberapa kalimat yang diperoleh berkaitandengan nilai-nilai edukatif yang
meliputi
v Nilai-nilai edukatif yang dikembangkan
dalam kehidupan pribadi, (b) nilai-nilai edukatif yang dikembangkan
dalam kehidupan sosial.
v Nilai-nilai edukatif yang berhubungan
dengan Tuhan,
v Cara penyampaian nilai edukatif melalui
dialog, monolog, dan narasi tokoh dalam cerita.
Berkaitan dengan sastra hasil penelitian
ini bisa digunakan sebagai bahan pengajaran apresiasi prosa fiksi dalam
kajian edukatif karya sastra yang meliputi nilai edukatif dalam
hubungannya dengan pribadi, nilai edukatif yang berhubungan dengan sosial,
dan nilai edukatif yang berhubungan dengan Tuhan. Bagi peneliti objek
yang sama, disarankan dapat dikembangkan lebih lanjut terutama pada
nilai-nilai kehidupan yang multidimensi seperti nilai sosial ekonomi dan
nilai sosial politik agar lebih komprehensif
Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2002.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn,
penerjemah Dick Hartoko. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Intermasa,
1989.
Tarigan,
Guntur Henry. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori
Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada University Press: Yoryakarta.
Tim Penyusun. 2002. PR Bahasa Indonesia
Kelas I SMU Tengah Tahun Kedua. Intan Pariwara: Klaten.
Kadaryati. 2001. Analisis Tema, Fakta
Cerita dan Sarana Sastra Tanah Gersang Karya Mochtar Lubis. Fakultas Budaya
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, Willem G.
Weststeijn, penerjemah Akhadiati Ikram. Tentang Sastra, Jakarta:
Intermasa, 1991.
Daroeso,
Bambang. 1989. Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila.Semarang: Aneka
Ilmu.
Sumardjo,
Jacob dan Saini, K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan.
Jakarta:Gramedia.
Biodata Penyusun
Nama : Andhika Nugroho
Tetala : Malang, 01 Juli 1989
Alamat : Pasuruan, Jawa Timur
Anak Ke : 2 dari 4 bersaudara
Riwayat Pendidikan
1.
SDN 1 Gentong (lulus tahun 2001)
2.
SMPN 1 Pasuruan (lulus tahun 2004)
3.
SMAN 1Pasuruan (lulus tahun 2007)
Tercatat sebagai mahasiswa aktif Univeritas Kanjuruhan Malang jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai menempuh S1
Sangat membantu tulisannya. boleh nanya kak, penjelasan mengenai nilai edukatif acuannya di buku apa ya? Terimakasih.
BalasHapus